PUISI, ESTETIKA DAN MASYARAKAT

Abdul Hadi W. M.


Saya minta maaf sebesar-besarnya kepada panitia oleh karena tidak dapat menumpukan pembicaraan kepada antologi yang dikirim kepada saya untuk dibahas dalam pertemuan ini. Alasannya sederhana, antologi tersebut baru saya terima seminggu sebelum saya berangkat ke Banjarmasin. Sungguh tidak mungkin saya dapat membaca antologi yang berisi lebih dari 100 sajak itu dalam waktu singkat.

Kesibukan mengajar yang padat dalam hari-hari menjelang akhir semester juga merupakan halangan tersendiri untuk membaca antologi tersebut dengan penuh perhatian. Sebagai gantinya saya pilih topik yang ligkup pembicaraannya lebih luas dan umum.Kendati demikian saya akan berusaha tidak melepaskan tanggung jawab saya meyinggung sajak-sajak dalam antologi yang diterbitkan panitia.
Estetika adalah satu hal, masyarakat pembaca puisi adalah lain hal. Tetapi keduanya bukannya tanpa kaitan dan tak saling berpengaruh. Perkembangan sastra sendiri pada umumnya, dan perpuisian pada umumnya, banyak dipengaruhi corak-corak wawasan estetik yang dominan pada suatu masa dan juga oleh tinggi rendahnya apresiasi masyarakat serta selera sastranya. Dalam masyarakat yang apresiasi sastranya tinggi, dan tradisi puitiknya mantap serta terpelihara, dunia penulisannya akan cenderung subur. Darinya tidak sukar mengharapkan lahirnya karya-karya yang bermutu dan berbobot. Contohnya bisa dilihat di beberapa negeri Asia yang tradisi sastranya sudah lama berkembang dan tetap terpelihara di dunia modern, ditambah lagi apresiasi masyarakatnya yang tinggi seperti Jepang, India, dan Iran, sebagaimana juga Jerman, Inggeris, Perancis, dan Mesir.
Dalam lingkait (konteks) pembicaraan ini, perlu saya jelaskan saya maksud dengan estetika. Ia tidak saya maksudkan sebagai falsafah keindahan atau teori keindahan, melainkan wawasan cipta atau wawasan yang mendasari lahirnya sebuah puisi dengan corak dan semangatnya tersendiri bila dibanding dengan puisi lain yang kelahirannya didasari wawasan cipta berbeda. Dalam sebuah puisi ia dapat ditelusuri melalui ciri estetik ungkapannya, serta untuk fungsi apa penyair menggunakan bahasa atau kata-kata. Sebagai suatu yang sifatnya intuitif, ia tidak dapat kita ketahui secara jelas kecuali membaca puisi seorang penyair dan membandingkannya dengan puisi penyair lain. Tetapi bagaimana pun juga ia selalu melatari penciptaan puisi, dan merupakan unsur utama dari apa yang disebut oleh Hagiwara sebagai shisheisin atau semangat puitik.
Agar tidak bertele-tele marilah saya beri contoh berupa perbandingan sajak Amir Hamzah “Berdiri Aku” dan Chairil Anwar “Senja Di Pelabuhan Kecil”. Saya bandingkan sajak dua penyair ini oleh karena sebenarnya mereka berangkat dari prinsip yang sama. Bagi mereka menulis puisi bukanlah sekadar menyampaikan nasehat atau kritik, juga bukan sekadar bermain dengan kata-kata indah, dan juga lebih dari sekadar mengekspresikan diri, yaitu pikiran dan perasaan. Puisi bagi mereka adalah juga merupakan sejenis renungan terhadap pengalaman batin dan obyek-obyek yang membangkitkan intuisi mereka sehingga terdorong untuk memberi tanggapan. Puisi, dengan demikian, adalah juga merupakan renungan dan sekaligus tanggapan terhadap kondisi eksistensial yang dialami penyair. Keduanya juga meyakini bahwa kekuatan sebuah puisi yang genuine terletak pada bangunan citra (image), baik citra lihatan maupun citra simboliknya, dan metafora. Yang membedakan dua penyair ini ialah pandangan hidup, gambaran dunia, dan erlebnis (pengalaman hidup) masing-masing. Dengan kata lain yang membedakan ialah shiseishin atau semangat puitiknya.
Dalam “Berdiri Aku” Amir Hamzah menulis, “Berdiri aku di senja senyap/Camar melayang menepis buih/Melayah bakau mengurai puncak/Berjulang datang ubur terkembang” (Bait 1) dan pada bait terakhir, “Dalam rupa maha sempurna/Rindu sendu mengharu kalbu/Ingin datang merasa sentosa/Mencecap hidup bertentu tuju”. Semangat puitik yang melatari puisi ini adalah religiusitas. Penyair merasa rumahnya yang sejati bukan di dunia ini, tetapi di alam metafisik. Inilah cirri penyair romantic atau neo-romantik, perasaannya melambung jauh ke lam tanzih (transcendental).
Shiseishin Chairil Anwar berbeda. Dalam “Senja Di Pelabuhan Kecil” setidak-tidaknya ia tidak memiliki kerinduan seperti Amir Hamzah. Ia bertahan di rumah eksistensialnya walaupun harus berhadapan dengan sepi dan hampa: “Ini kali tidak ada yang mencari cinta/ di antara gudang, rumah tua, pada cerita/ tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut/ menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut/” (bait 1) dan pada bait terakhir” “Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan…”
Contoh tersebut diberikan untuk menjelaskan bahwa wawasan estetik berbeda dengan semangat puitik atau kepenyairan. Secara sederhana apa yang disebut wawasan estetik di sini ialah cara-cara penyair memperlakukan bahasa atau kata-kata dan untuk fungsi apa ia memperlakukan menurut caranya. Kita tahu bahwa pengucapan puitik adalah pengucapan tidak langsung menggunakan apa yang disebut bahasa figurative. Uunsur utama bahasa figurative (majaz) ialah metafora, citra (image), simbol atau tamsil. Dengan itu puisi menjadi multi-tafsir, sebab ia adalah “makna yang menurunkan makna-makna”.
Oleh karena itu fungsi kata dalam puisi tidak hanya mengandung makna referensial atau denotative, tetapi lebih jauh memiliki makna konotatif dan sugestif. Dikaitkan dengan wawasan estetik yang berkembang dalam tradisi sastra di mana pun, pandangan yang berbeda tentang bahasa/kata dalam pengucapan puitik lantas muncul tiga pandangan, atau katakanlah teori, tentang sastra/puisi. Pertama, pandangan bahwa sastra merupakan tiruan kenyataan. Pandangan ini dianut oleh kaum naturalis. Kata-kata dalam pengucapan puitik ditafsirkan secara harfiah mengikut makna denotative atau referensialnya. Kedua, pandangan bahwa sastra/puisi adalah representasi dari obyek atau kenyataan dilihat dan dialami penulis. Kata-kata mulai dilihat mengandung makna knotatif. Ketiga, pandangan yang menyatakan bahwa sastra/puisi merupakan kias (sibolisasi) atas idea atau pengalaman estetik penyair. Dari pandangan ini lahir keyakinan bahwa kata-kata mengandung makna simbolik dan sugestif. Maka seperti itu berkaitan dengan pengalaman spiritual atau kenyataan transendental yang dialami penyair.
Pandangan yang dominan dalam masyarakat ialah pandangan pertama. Pada umumnya masyarakat kita melihat bahwa karya sastra merupakan tiruan atau representasi dari kenyataan. Karena itu dapat dimaklumi apabila mereka lebih mengapresiasi karya-karya yang tidak menuntut perenungan seperti sajak-sajak sosial. Kecenderungan ini tidak kecil pengaruhnya pada perkembangan puisi di Indonesia. Karena sajak-sajak sosial, baik yang mengandung pengajaran maupun yang mengandung kritik sosial lebih mudah dicerna dan memenuhi cita rasa estetik mereka, maka perkembangan sajak-sajak seperti sangat subur. Padahal untuk melahirkan sajak sosial yang bagus seperti sajk-sajak Rendra dan Taufiq Ismail, bukanlah suatu yang mudah.
Agar mudah dicerna marilah saya jelaskan sebagai berikut. Apabila dilihat dari sudut pandang wawasan estetik ada empat kecenderungan umum dalam melihat tujuan penulisan sastra atau puisi.
Pertama, kecenderungan yang memandang bahwa fungsi puisi memberikan pengajaran atau menyajikan tanggapan terhadap kenyataan, khususnya kenyataan sosial. Sajak-sajak yang sarat kritik sosial termasuk dalam klasifikasi ini. Penyair yang memandang fungsi puisi seperti cenderung menjadikan kata-kata sebagai sarana pengungkapan keadaan yang ada dalam masyarakat atau menjadikan kata-kata untuk menyampaikan pengajaran. Tetapi yang berhasil melahirkan karya-karya yang bermutu seperti Rendra, Taufiq Ismail, Emha Ainunnadjib, pada akhirnya berhasil disebabkan penguasaannya atas bahasa puitik, bukan oleh wawasan estetiknya. Hanya saja kebanyakan orang memandang bahwa menulis sajak seperti itu mudah disebabkan caranya memandang fungsi sastra seperto itu.
Kedua, kecenderungan yang memandang bahwa sastra meruakan ekspresi diri, baik ekspresi diri kolektif maupun diri individual. Penyair yang memilih cara pandang seperti itu akan memperlakukan kenyataan dan obyek-obyek dalam kehidupan dan alam sebagai sarana pernyataan pikiran dan perasaan pribadinya. Sastra tidak lagi dipandang sebagai tiruan (imatasi) atau representasi dari kenyataan, melainkan sebagai pernyataan pengalaman, gagasan dan pikiran subyektif penyair dalam menanggapi kehidupan dan kondisi kemanusiaan. Pada tahap yang tinggi seperti terlihat pada sajak-sajak Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sitor Situmorang, Subagio Sasrowardojo, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono dan Sutardji Calzoum Bachri, yang dicapai bukan semata-mata ekspresi diri melainkan juga renungan yang mengandung nilai universal. Saya kutip sajak pendek Sutardji Calzoum Bachri:

Hari ke hari
Bunuh diri perlahan-lahan

Hari ke hari
Luka bertimbun di badan

Maut menabungKu
Segobang segobang

Ketiga, pandangan yang menyatakan bahwa puisi sebenarnya hanya permainan kata-kata atau cara membuat indah pengucapan. Pandangan ini tampak dalam puisi yang mengandalkan kekuatannya pada ornamentasi (alamkara Sanskerta) atau kemahiran memainkan kata-kata, termasuk menguir kata-kata. Sajak-sajak panjang Taufiq Ismail banyak menggunakan prinsip ini. Dalam cara dan dengan semangat puitik lain prinsip ini tampak dalam sajak-sajak Amir Hamzah dan Sutardji Calzoum Bachri. Sajak-sajak dengan gaya seperti ini banyak ditemui di Indonesia.
Keempat, pandangan yang berpendirian bahwa sebenarnya puisi lebih dari sekadar permainan kata dan ekspresi diri. Ia juga adalah hasil renungan penyair terhadap pengalaman batin dan kondisi kemanusiaan yang dihayatinya dalam kehidupan sosialnya. Hampir semua penyair terkemuka di Indonesia melahirkan puisi semacam itu walaupun dalam kadar berbeda-beda. Amir Hamzah, Chairil Anwar, Subagio Sastrowardojo, Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan Sutardji Calzoum Bachri, melahirkan banyak puisi seperti itu. Penyair seperti Rendra, Taufiq Ismail, Zawawi Imron, dan lain-lain tak begitu banyak melahirkan puisi seperti itu.
Karena masing-masing memerlukan cara pemahaman yang berbeda-beda, dalam mengapresiasi dan menilainya kita harus menggunakan landasan teori, metode, dan kaedah estetik yang berbeda.

Makalah ini dibacakan pada acara Aruh Sastra Kalsel,tgl 25 sd 27 Desember 2009,di Batola Marabahan.

Biodata :
Abdul Hadi W. M. (Wiji Muthari) adalah gurubesar Universitas Paramadina Jakarta dalam bidang Falsafah dan Pewradaban. Lahir di Sumenep,
Madura pada 24 Juni 1946, dia memperoleh pendidikan di Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gajah Mada dan Fakultas Filsafat di universitas yang sama. Gelar Ph. D. diperoleh di Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan, Universiti Sains Malaysia, P. Pinang. Tahun 1973-74 mengikuti International Writing Program di University of Iowa, Iowa City, Amerika Serikat. Selain mempelajari kesusastraan Melayu/Indonesia dan Falsafah Barat, dia juga mempelajari kebudayaan dan kesusastraan Timur. Sebagai penyair dia telah menhadiri berbagai pertemuan penyair dan sastrawan internasional di Inggeris, Nederland, Jerman, Perancis, Amerika Serikat, Korea Selatan, Jepang, Filipina, Iraq, Iran, Turki, Libya, Malaysia, Thailand dan lain-lain.
Dari tahun 1968 hingga 1990 berturut-turut dia menjadi redaktur tabloid Gema Mahasiwa (UGM) dan Mahasiswa Indonesia (Bandung), kemudian majalah dan jurnal Budaya Jaya, Dagang & Industri dan Ulumul Qur`an. Sejak tahun 1979 hingga 1990 menjadi pengasuh tetap lembaran “Dialog” Berita Buana, sebuah ruang kebudayaan yang sangat terkemuka di tanah air. Tahun 1982-1986 menjadi Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta dan 1987-1990 menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta. Antara tahun 1991-1997 dia menjadi penulis tamu dan sekaligus pengajar di Universiti Sains Malaysia. Setelah kembali ke Indpnesia dia mernadi Ketua Dewan Kurator Bayt al-Qur’an dan Museum Istiqlal, serta anggota Lembaga Sensor Film. Sejak tahun 1998 dia mengajar di Universitas Paramadina, dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Sejak tahun 2005 diminta mengajar di ICAS (Islamic College for Advanced Study) London cabang Jakarta.
Puisi dan esai-esainya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggeris, Perancis, Jerman, Belanda, Spanyol, Jepang, Korea, Cina, Arab, Urdu, Turki, Bengali, Thai dan lain-lain. Antologi puisinya yang telah diterbitkan antara lain ialah Riwayat, Laut Belum Pasang, Potret PanjangPengunjung Pantai Sanur, Cermin, Meditasi, Tergantung Pada Angin, Anak Laut Anak Angin, Pembawa Matahari dan Madura, Luang Prabhang, dan lain-lain. Dia banyak menerjemahkan karya para pengarang dunia seperti Goethe, William Blake, Iqbal, Hafiz, Rumi, Ibn `Arabi, TS Eliot, Octavio Paz, Li Po, dan lain-lain. Karya terjemahannya antara lain Kehancuran dan Kebangunan: Puisi Jepang Sesudah Perang; Ruba’iyat Omar Khayyam; Kumpulan sajak Iqbal: Pesan Kepada Bangsa-bangsa Timur; Faust I karya Goethe; Pesan Dari Timur karya Iqbal, dan lain-lain.
Di antara bukunya tentang sastra sufi dan estetika ialah Rumi, Sufi dan Penyair; Sastra Sufi, Sebuah Antologi; Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-puisinya; Iqbal, Pemikir Sosial Islam dan Sajak-sajaknya (bersama Djohan Effendy); Islam: Cakrawala Estetik dan Budaya dan, Tasawuf Yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri (disertasi PH. D.); Hermeneutika, Estetika dan Religiusitas (2004); Adab dan Adat: Refleksi Sastra Nusantara (Bersama Edwar Djamaris dan Amran S. Tasai). Sebagai penyair dan penulis esai terkemuka Abdul Hadi W. M. Telah memperoleh beberapa penghargaan antara lain: Hadiah Buku Puisi Terbaik Dewan Kesenian Jakarta 1978; Anugerah Seni Pemerintah RI cq Departemen Pendidikan dan Kebudayaan 1979; SEA Write Award (Hadiah Sastra ASEAN) dari Kerajaan Thailand 1985; Hadiah Buku Terbaik Yayasan Buku Utama 2001; Hadiah MASTERA (Majlis Sastra Asia Tenggara) di Kuala Lumpur, 2003.

Tinggalkan komentar